Selasa, 12 November 2019

Selamat Tahun Baru, Tuan


Saya pernah dekat dengan beberapa jenis laki-laki, ada yang mencoba mendekati dengan puisi, bunga, bernyanyi, dan hal-hal chessy lainnya, yang akan membuat orang lain berpikir “ah, so sweeeeeet.”
Bahkan, 3 taun terakhir, di hari ulang tahun saya, bunga dalah hal yang pasti selalu ada. Saya hampir hidup berdampingan dengan hal-hal yang menurut standar perempuan, romantis.
Baik, hal itu membuat saya tersenyum, lalu berakhir begitu saja. Saya ulangi, begitu saja.
Pemahaman saya tentang romantis mungkin telah bergeser, karena menurut saya, romantis bukan perihal “cara” tapi ‘kemauan”.
Laki-laki ini, tidak pernah sekalipun menuliskan saya puisi, tapi berhasil membuat saya kegirangan merasa dimiliki.
Saya lupa kapan saya bilang suka minum Yakult, tidak suka makanan yang terlalu manis, dan malas memakan keripik pedas. Dan ya, ia ingat semua detailnya, yang ia bawa dalam sekantung pelastik jajanan kesukaan saya, di malam setelah ia pulang kuliah.
Saya yakin, ada banyak perempuan yang berpikir sejalan, adalah (ternyata) akan tersenyum saat diberi bunga, diberi keripik kentang akan sangat bahagia. Yang akan  mengucapkan “terima kasih” saat diberi puisi, tapi akan terharu sambil memeluk saat diberi koyo, vitamin, dan es krim saat jaga malam di rumah sakit.
Romantis adalah tentang mengingat pasanganmu yang belum makan malam, tentang ia yang menunggu waktu luang hanya untuk tau apa yang kamu lakukan seharian melalui pesan suara, tentang kecup di kening saat harus pulang ke rumah masing-masing karena bulan semakin meninggi.
Selamat ulang tahun, kamu. Yang selalu meminta maaf karena tidak bisa mengekpresikan cintanya dengan baik. Kamu tau tidak, di hari saya mengucapkan “iya” untuk menjadi bagian dari hidupmu, saat itu juga saya merasa digenapkan, merasa lebih dari cukup.
Semoga di usiamu yang baru, menjadikanmu pribadi yang lebih baik, berkembang, dan lebih bijak dalam menghadapi masalah. Dilimpahkan banyak kebahagiaan, dijauhkan dari kesedihan. Aamiin paling keras untuk setiap mimpi-mimpi yang kau semogakan, dan (semoga) saya bisa tetap di sini, menemanimu mencapainya satu persatu.
Terima kasih telah menjaga privasi saya dengan tidak menggunggah foto kita berdua di lini masa yang disertakan lokasinya.
Terima kasih, telah membiarkan saya tetap memiliki kehidupan sendiri. Sebuah hal sederhana, yang pada praktiknya, tidak semua pasangan memiliki kesadaran yang sama.
Saya cinta kamu, saat kamu diam karena cemburu, juga saat sebal menghadapi saya yang terlampau rindu.

Sabtu, 06 Juli 2019

Yang Lupa Ku Syukuri

Aku hanya ingin menulis ini. Entah untuk yang terakhir, atau nanti ada lagi.


Aku tidak pernah bingung, tentang bagaimana kau berpikir. Mengapa kau mengutuk es krim dan cokelat, tapi akan melumat habis yang ada di bibir ku. Mengapa kau selalu menolak makan kepiting, tapi diam-diam menghabiskan kerang saus padang pesanan ku. Dan kau selalu benci menggenggam tangan ku : "emangnya mau nyebrang?", tapi parkiran suatu mall pernah penuh oleh gema tawa mu saat menggendong tubuh ku "berat banget kayak karung beras".
Meski datang tanpa panduan, aku ingin menjadi yang termahir menerjemahkan mu. Dalam nihil cahaya, atau sekuat kuatnya lampu penerangan GBK. Dalam mode super tabah mu, atau sedang buas-buasnya kalau diganggu main game. Dalam wangi atau bau keringat orang sehabis naik motor. Pula dalam keadaan ketika kamu menyerah pada ketidak kuasaan mu menerjemahkan ku satu persatu.
Sebab rumah adalah tempat, dimana kau bisa menjadi diri mu seutuhnya. Walau kita sedang dalam perjalanan yang tak pernah sampai, selalu berhenti setiap terlalu jauh, terus berjalan meski lelah, dan mundur lagi karena terlalu dekat. Ku cinta kau dalam hening lelap tidur mu, hingga bising pinta ku untuk mu tetap menetap lebih lama dari selamanya.

Rabu, 30 Januari 2019

Berhenti

Sungguh aku tak bisa menjadi biasa saja. Karena sumpah demi Tuhan, rasa ini masih ada.
Mengenang senyum mu, sebenarnya aku tak ingin. Tapi seperti apa pun ketakutan dalam hidup, ia selalu mengejar ku hingga dada ini tak sanggup lagi berdegup.
Kau ada di setiap lagu yang ku dengar, kopi yang setiap pagi ku seduh, merupa hujan tengah malam, atau petugas bank yang kebetulan bajunya tercium parfum mu.
Langkah ku seringan permen kapas. Berharap cepat sampai ke tujuan, tak pernah lelah, namun di sana tak ada lagi kamu.
Pesta semalaman, lampu pinggir kota, bising di telinga, sungguh hura-hura yang percuma, jika setiap pagi yang ku tanya adalah "kau dimana?"
Akan ku jawab "iya", tapi tawaran dari mu tak pernah benar-benar ada. Sebab aku tak pernah cukup, membuat mu untuk tetap tinggal.
Aku rindu pada diri ku yang sebelum mengenal kamu. Yang tak perlu repot merapikan hati saat dengan sengaja kau acak-acak rambut ku. Yang tak perlu khawatir saat lambat laun ingatan mu tentang ku menyusut.
Aku terlalu jauh dari raga mu yang sekarang entah di dekap siapa. Semesta menarik semuanya dengan kuat, kecuali perasaan ku.
Menyesakan rasanya melihat mu tertawa, bukan karena aku tidak mau kau bahagia. Tapi karena ternyata, bukan aku lagi yang menjadi sebabnya.
Kini segala ingin hanya sekedar angan. Pada apa-apa yang ku semogakan, pada setiap syukur yang ku panjatkan, pada hal yang kau sebut cinta tapi tak pernah kau usahakan. Aku kalah.