Senin, 17 September 2018

Bianglala

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Suara musik khas pasar malam, lampu warna-warni, loket pembelian karcis, tukang parkir yang melambai-lambai, gulali merah muda yang dibungkus pelastik bening, tawa anak-anak, juga wahana yang dicat sedemikian rupa agar tak terlihat membosankan.
Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aku melihat pengunjung yang wajahnya murung,padahal ia terlihat telah mengelilingi tempat ini. Mungkin karena beban pekerjaan, habis putus cinta, atau kehabisan uang padahal gaji baru saja turun. Ah, mengapa aku sepeduli ini? Toh,semua yang datang kesini hanya untuk bersenang-senang, lalu pulang.
Tiba-tiba ia berada di tengah antrean karcis ku, bianglala berwarna biru dan merah jambu, dengan sedikit karat di bagian tempat duduk, namun tetap aman untuk ia singgahi.
Ia duduk, sendirian disini. Aku, mulai memutarkan tubuh ku, karena semua tempat telah penuh. Di puncak ketinggian ku, ada yang berteriak, tertawa keras sekali, atau berpelukan seperti sepasang muda mudi di tempat duduk nomer tiga. Tapi, laki-laki itu justru menggenggam besi-besi di tubuh ku dengan erat, memejamkan matanya, tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Begitu terus hingga permainan usai.
Semenjak saat itu, aku selalu menunggu ia datang lagi. Laki-laki berkacamata kotak, dengan jaket yang selalu membungkus tubuhnya.
Pernah, suatu masa, ia membawa gulali, tertawa lebar sekali. Tapi tak jarang, ia datang dengan kesal, aku tak tahu kenapa. Ah, aku ingin sekali membuatnya selalu bahagia. Tanpa harus ada raut lelah di wajahnya, atau bahkan murung seperti saat pertama bertemu.
Ia datang hampir setiap hari, kadang terlalu larut. Jari-jarinya memegang erat besi ku, tapi begitu dingin. Aku ingin ia berbicara lebih banyak dari biasanya, tapi seperti yang selalu ia lakukan ; diam. Tidak, aku tidak pernah bosan dengan sikapnya. Hanya saja, ada pengunjung yang membuat ku begitu dianggap sangat menyenangkan. Ia datang dengan riang, tak pernah sekali pun menganggap ku sebagai tumpukan besi tua yang dicat sedemikian rupa. Lalu laki-laki berkaca mata itu, menghilang beberapa minggu. Aku sepi, tubuh ku dingin sekali. Tapi tetap bisa menikmati riuhnya pasar malam.
Bulan sedang cantik-cantiknya. Dan ternyata ia datang lagi, dengan kaus berwarna biru dan celana pendek. Aku rindu, pada tatap matanya yang tajam, senyum yang menggantung di wajahnya, juga aroma tubuhnya yang ingin ku hirup lebih lama dari biasanya. Banyak sekali yang ia bicarakan, aku senang mendengarnya, dan aku ingin mencintainya lebih dari sangat. Aku berhenti berputar, karena malam terlalu larut. Para pedagang mulai merapikan lapaknya, suara musik sudah tak terdengar, dan hanya ada beberapa tawa yang menggema di pojok parkiran. Ia turun, tapi tangannya tak henti memegangi besi ku, ini permainan terakhir katanya. Ia senang berada di wahana ini, tapi juga lelah, karena aku terlalu hangat pada pengunjung. Aku tak sempat menjelaskan apa-apa. Hanya lambai tangannya, yang bisa ku lihat dari sini. Untuk berteriak pun, aku tak sanggup. Punggungnya perlahan hilang, bersama hilangnya bayang.
Malam setelah itu, ia tak pernah datang lagi. Dan tak pernah ada lagi, pengunjung yang setenang dan sedingin ia saat berada disini. Kebanyakan, berteriak, tak jarang mengumpat. Ya, aku pikir aku telah berada di tempat lain, karena aku terus bergerak, nyatanya aku tetap disini, tak pernah berpindah kemana-mana.
---------------------------------
"Tuan, tak apa jika ingin datang terlalu larut, meski tanpa cahaya warna-warni, walau tak ada lagi gulali.
Maafkan aku yang terlalu hangat pada selain kamu. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama dari selamanya, bersama mu. Terserah jika sebenarnya kau hanya butuh ramai, dan kebetulan ada aku disini. Ah sudah lah, kita hanya takut kesepian.
Untuk selamat tinggal malam itu, ya, mungkin kamu ingin pulang dengan selamat, sedangkan saya akan tetap tinggal." - Bianglala, yang juga butuh ramai, dan kebetulan ingin kamu yang melakukannya.