Kamis, 14 Desember 2017

Pagi dan kopi

Pagi ini biasa saja. Hanya kebetulan ada kamu di ujung kasur dengan kopi hitam sedikit gula dan setumpuk pekerjaan mu.
Pagi ini biasa saja. Hanya kebetulan kamu tak henti-hentinya tersenyum di sebrang sana, dan aku hanya bisa menunduk sambil mengaduk-ngaduk teh di depan ku.
Pagi ini juga biasa saja, sebelum ada yang mengetuk pintu apartemen mu dengan tak sabar. Kemudian setelah itu, kamu mendorong ku bersembunyi di lemari pakaian mu, membuang tas dan baju-baju ku ke tempat sampah di sudut kamar mu.
Kamu membukanya perlahan, ia menyambutnya dengan berkali kali kecupan. Menanyakan mengapa ponsel mu tidak aktif sejak pulang kantor, dan kamu akan menjelaskan betapa pekerjaan menyita banyak sekali waktu dan pikiran. Ia mengerti, dan pamit untuk pergi entah kemana,sambil terus mendekap dan mengucap kata sayang.
Pintu kembali di kunci, perlahan kamu mengetuk lemari coklat yang sedari tadi menjadi tempat ku menahan gejolak dalam dada. Setelah itu kamu meminta maaf, sekali lagi. Lagi. Dan lagi.
Aku ingin mengutuk diri berkali kali, atas jatuhnya hati ini, pada mu yang telah terikat pada janji suci. Tapi sayangnya itu tak akan mengubah apa pun dalam dada mu.
Kemana lagi aku harus bersembunyi? Di bawah kasur yang telah menjadi tempat mu mencumbu ku hingga pagi? Di kamar mandi yang membuat kulit kita basah bersama sama? Atau di balik meja kerja mu yang mempertemukan bibir kita pada saat itu?
Aku lelah, sayang. Menjadi telinga untuk segala keluh kesah mu, menjadi mata untuk duka mu, menjadi kesayangan, tapi bukan kebanggan mu.
Bisa kah kita berhenti saja sampai disini? Berhenti pada tahap aku yang tak mau diacak-acak lagi hidupnya oleh kamu? Berhenti memberi harapan di antara "jika ia begitu penting, mengapa aku rela membagi waktu,uang,cinta,setiap sisi dan sisa ku pada mu?"
Kepada kamu, berhenti lah bermain. Hari sudah pagi, silakan pergi. Pada rumah mu, yang ku tahu, jelas, bukan aku.