Rabu, 30 Januari 2019

Berhenti

Sungguh aku tak bisa menjadi biasa saja. Karena sumpah demi Tuhan, rasa ini masih ada.
Mengenang senyum mu, sebenarnya aku tak ingin. Tapi seperti apa pun ketakutan dalam hidup, ia selalu mengejar ku hingga dada ini tak sanggup lagi berdegup.
Kau ada di setiap lagu yang ku dengar, kopi yang setiap pagi ku seduh, merupa hujan tengah malam, atau petugas bank yang kebetulan bajunya tercium parfum mu.
Langkah ku seringan permen kapas. Berharap cepat sampai ke tujuan, tak pernah lelah, namun di sana tak ada lagi kamu.
Pesta semalaman, lampu pinggir kota, bising di telinga, sungguh hura-hura yang percuma, jika setiap pagi yang ku tanya adalah "kau dimana?"
Akan ku jawab "iya", tapi tawaran dari mu tak pernah benar-benar ada. Sebab aku tak pernah cukup, membuat mu untuk tetap tinggal.
Aku rindu pada diri ku yang sebelum mengenal kamu. Yang tak perlu repot merapikan hati saat dengan sengaja kau acak-acak rambut ku. Yang tak perlu khawatir saat lambat laun ingatan mu tentang ku menyusut.
Aku terlalu jauh dari raga mu yang sekarang entah di dekap siapa. Semesta menarik semuanya dengan kuat, kecuali perasaan ku.
Menyesakan rasanya melihat mu tertawa, bukan karena aku tidak mau kau bahagia. Tapi karena ternyata, bukan aku lagi yang menjadi sebabnya.
Kini segala ingin hanya sekedar angan. Pada apa-apa yang ku semogakan, pada setiap syukur yang ku panjatkan, pada hal yang kau sebut cinta tapi tak pernah kau usahakan. Aku kalah.