Jumat, 06 Februari 2015

Seorang pelupa

Aku selalu lupa dimana terakhir kali aku menaruh ponsel atau remote tv saat di rumah,tapi aku tak pernah lupa menaruh semua barang yang pernah kau berikan.
Aku selalu lupa membawa handuk ketika aku hendak mandi,tapi aku tak pernah lupa membawakan mu bekal makan siang,atau sekedar makan di kantin belakang.
Aku selalu lupa mengirimi mu pesan singkat,tapi aku tak pernah lupa mengirimi mu doa padat penuh harap.
Aku selalu lupa tanggal hari jadi kita,tapi aku tak pernah lupa saat pertama kali jari jemari kita saling berpautan.
Aku selalu lupa tempat yang pernah kita kunjungi,tapi aku tak pernah lupa tempat dimana kita duduk berdua menikmati langit di sore hari.
Aku selalu lupa jika kau tak suka kopi,tapi aku tak pernah lupa jika kau sangat suka bernyanyi di kamar mandi.
Aku selalu lupa kapan terakhir kali kita makan siang berdua,tapi aku tak pernah lupa saat kita menjejali es krim untuk pertama kalinya.
Aku memang pelupa,tapi aku tak pernah lupa semua tentang kita-tentang mu lebih tepatnya-.



Note : Ditulis disuatu senja,saat kau menganggap aku adalah orang yang paling pelupa sedunia,kemudian setelah itu kau bisikan “but i love you just the way you’re”. Dulu.

Mengikhlaskan

Hari itu aku duduk disudut kelas,menikmati sendu bersama suara hujan. Sampai pada akhirnya kau datang menghampiri ku dengan ekspresi kebingungan.
“Ada apa? Mengapa kau terlihat bersedih?.” Kata mu yang tiba tiba duduk didepan ku.
“Aku sedang tidak baik baik saja,aku baru saja kehilangan.” Ucap ku sambil memandangi hujan.
“Kehilangan sesuatu yang sudah menjadi masa lalu?.” Pertanyaan itu keluar bersama tatapan penasaran.
Aku memberanikan diri menatap mu,”Begitu lah.” Kata ku.
“Ayo lah tak usah menangis tersedu sedu. Semuanya sudah berlalu.” Terdengar nada seperti menyemangati.
Aku hanya diam.
Lalu kau melanjutkan kalimat mu lagi, “Gelap pasti berganti terang,kau tak perlu khawatir. Kau hanya perlu mengikhlaskan.”
“Bagaimana mungkin aku bisa mengikhlaskan seseorang yang baru saja mampir pada sudut hati ini? Ia pergi terlalu cepat.” Ucap ku dengan suara sedikit bergetar.
“Ia pasti punya alasan untuk meninggalkan mu,mungkin saja ia masih mencintai mu. Ia sudah pergi,kau harus menerima kenyataan bahwa hatinya bukan lagi untuk mu.”
“Jika ia mencintai ku,mengapa ia terlalu cepat pergi? Apa cinta tak bias datang tanpa membawa kesedihan?.” Mata ku mulai berkaca kaca tak bisa menahan sendu yang ada.
“Tenang lah nona,tak usah terburu buru seperti itu. Tuhan menciptakan kebahagiaan dan kesedihan dalam satu paket,tak usah berlarut dalam kesedihan. Tak usah memikirkannya lagi,ia sudah pergi.” Kata mu yang masih menatap ku lekat.
“Asal kau tau saja,mengikhlaskan tak pernah sesingkat tangisan perpisahan.” Ucap ku dengan suara purau.
“Aku mengerti,tapi pesta sudah usai nona,saatnya menyambut hari baru. Maafkan masa lalu mu,biarkan ia tertinggal dibelakang.” Kata mu yang berusaha menumbuhkan harapan.
Aku mulai terisak,tapi berusaha mengelak. “Jika aku sudah mengikhlaskan,dan aku merindukannya dengan teramat sangat,apa yang harus ku lakukan?.”
“Kau masih bisa menemuinya untuk sekedar minum kopi bersama,ku rasa kalian masih bisa berteman. Mulai hari ini kau harus ceria lagi,tak usah bersedih seperti itu. Biarkan ia pergi.”
Aku berdiri,dan melangkahkan kaki keluar kelas. Tapi kau berteriak dari belakang. “Mau kemana kau? Diluar masih hujan.”
“Tak masalah,aku selalu suka hujan. Hari ini aku baru saja kehilangan seseorang,dan ia baru saja memberi ku nasihat untuk melepaskan. Mengapa cinta membuat mu begitu cepat mengikhlaskan?.”

“…”



Parungpanjang,22 desember 2014.