Senin, 18 Juni 2018

Dini Hari Dan Tidur Yang "Nanti Lagi"

Aku benci terbangun di pukul 3 dini hari. Gelapnya, heningnya, sepinya, juga segala yang riuh di dalam kepala. Sulit membuat tidur setelahnya.
Dini hari, waktunya tubuh istirahat dan merebah. Tapi hati, meminta ku untuk mengingat mu sekali lagi. Sebelum matahari mengasingkan diri ku jauh sekali.
Pernah, pada suatu masa, aku berada di waktu tersibuk mu, pukul 3 sore hari. Diantara pekerjaan yang tak kunjung usai, diantara macet jalan raya, berada dalam dilema makan sekarang atau nanti malam. Dan kau selalu sempat  menyapa ku lewat gawai, supaya hati-hati di jalan, memastikan tak ada ibadah yang ku tinggal.
Padahal, waktu terbaik mengingat seseorang adalah pukul 3 dini hari. Saat mata terlalu berat, kaki terlalu pegal berjalan, dan tubuh enggan berpindah dari kasur, tetapi isi kepala terlalu sesak menyimpan namanya.
Diantara cahaya bulan, ia hadir, tapi tak mampu menggenapkan kekosongan. Menyusup dalam bait bait doa, namun tak kuasa terbang ke langit untuk diaamiinkan. Menjelma menjadi lagu sendu yang tak sengaja diputar. Menikmati kehampaan, dengan sesekali terdengar suara sesegukan.
Diam diam ternyata aku rindu, pada sapa mu kala hari yang terlalu berat. Pada dekap yang selalu bisa membuat ku terlelap. Pada hal-hal sederhana yang tak lagi kau lakukan.
Percakapan dini hari ini terlalu melelahkan. Ingin pulang, dan mengetuk hatinya untuk menemukan mu jauh di dalamnya, bertemu sekali lagi, mendekap mu erat-erat, sampai kemudian aku tersadar, di mata mu, tak ada lagi aku.