Sabtu, 15 Desember 2018

Selalu Ada Alasan

"How was your day? Aku baru pulang latihan nih. Kamu udah mandi?"
Pesan yang tak pernah bosan ia kirimkan setiap malam. Yang akan saya balas dengan panjang lebar, sambil senyum-senyum dengan debar.
Semenyenangkan ini jatuh cinta. Saat ia ingat rasa es krim kesukaan saya, seberapa cintanya saya pada Sheila On 7 dan Cold Play, tau bahwa saya tak suka orang yang cerewet, juga tau pada penulis yang saya baca karya-karyanya.
Lalu kita saling menyebut sebagai bagian dari hidup. Seolah jarak bukan lagi satuan yang mesti di khawatirkan.
Tapi perlahan, duka mulai muncul ke permukaan. Ia yang terlalu sibuk, saya yang terlalu manja. Dan menyalahkan jarak sebagai dalangnya.
Meninggalkan menjadi jalan yang saya ambil. Meski pernah saya utarakan, betapa saya jatuh cinta pada cara ia berpikir, matanya yang coklat, pada aroma tubuhnya, kejutan-kejutan kecil yang ia kirim dari belahan bumi yang lain, juga segudang prestasi yang telah ia raih, tak cukup menjadi alasan untuk saya tetap tinggal.
Seolah saya lupa, sulitnya menuju ia. Karena meninggalkan, selalu ada alasan. Dan ironisnya, alasan itu telah hadir sejak pertama kita berikrar untuk saling mengasihi.
Padahal tak ada aturan baku untuk mencintai seseorang. Tapi mengapa, meninggalkan begitu mudah dilakukan?
Setiap karena mulai bermunculan, kadang benar, tak jarang dikarang-karang. Meninggalkan, selalu ada alasan. Saya tidak pernah menyesal telah pergi darinya. Saya hanya malu, jika menengok pada masa yang itu. Betapa saya, ternyata begitu pengecut untuk jujur bahwa saya bosan. Dan malah tak berusaha memperbaiki keadaan.
Terima kasih, untuk tidak menghabiskan waktu mu untuk tetap tinggal bersama saya, yang gagah meninggalkan saat kau dengan gigih mencintai saya tanpa alasan.

Selasa, 06 November 2018

Keluarga Ini Bernama Kojul

Saya sedang sendirian, saat air dari langit menghujam tanah dengan keras. Sesekali terdengar suara yang menggelegar di luar. Membuat saya semakin betah tidak melakukan apa pun di atas kasur.
Kemudian, saya ingat kalian. Sedang apa? Masih kah es krim menjadi teman setia kala hujan? Masih kah berani kuyup hanya demi semangkuk seblak setan? Masih kah tertawa terbahak-bahak untuk tetap menjaga kewarasan?
Atau diam-diam kalian meninggalkan semua ritual itu, hanya karena takut semakin rindu?
Maaf saya terlalu meracau. Sebab diri ini terlalu kacau, tanpa hadir kalian disisi.
Sebut saya mudah baper. Beberapa waktu lalu saya mencetak foto kalian, menempelnya di dinding kamar. Dan bodohnya, setiap mata saya berhenti pada senyum lebar di gambar, saat itu juga perasaan terasa sangat hambar.
Kepada Nuroh, saya ingin dipeluk lagi setiap pagi. Tentang tangis yang selalu berhasil tumpah, meski saya tak sedang patah. Cara mu menceritakan polisi tampan yang kau temui di jalan. Atau rengekan mu saat lapar, padahal baru 2 jam lalu perut terisi dengan penuh.
Deli, terima kasih untuk 3 tahun mendengarkan saya bercerita tentang nama yang sama, hingga saya mampu bangkit dan menjemput bahagia. Yang begitu yakin, saya akan menemukan yang lebih baik. Padahal dirinya sendiri lebam dihajar masa silam. Perempuan cerdas yang menenggelamkan diri di dunia Kpop,  tapi kerap menjadi cemoohan kami karena sikapnya yang aneh.
Jaka, laki-laki paling ambisius yang pernah saya temui. Membuat saya begitu semangat untuk selalu belajar, dan meraih apa pun yang saya kejar. Maaf pernah mematahkan diri mu begitu hebat,  sebab saya lebih nyaman menjadi sahabat. Saya tidak tahu, kemana saya harus pergi saat sedang tak percaya diri. Dulu saya begitu benci disuapi makanan menggunakan sendok sup. Dengan komposisi nasi lebih banyak dari lauk. Jika bisa diulang kembali, saya janji tidak akan ada sisa nasi di kotak bekal mu lagi. Juga saya tidak akan mengeluh jika tiba-tiba motor yang kita kendarai -gugun- , mogok di tengah jalan. Nanti kita bernyanyi lagi, hingga tak terasa motor mu telah sampai di depan pagar rumah.
Putri, keras kepala mu kerap membuat kepala yang lain juga pening. Mood yang berubah-ubah tapi mampu mengatasinya dengan mudah. Saya tahu, diri ini terlalu menyebalkan. Minta diberi solusi, tapi malah mengambil langkah sendiri. Tetap lah bergerak, put. Sebab diam tak akan mengantarkan mu pada siapa-siapa.
Ipih, kepala suku yang keputusannya sulit direcoki, kecuali oleh putri. Yang setiap tutur kata dan perbuatannya mampu membuat saya shalat lebih awal dari biasanya. Pernah menangis karena idolanya -Ariel Noah- dicaci maki. Yang juga begitu semangat mengajak kami menonton film bollywood, padahal di seperempat jalan film, kami tertidur.
Rohmani, perempuan tangguh yang mampu mengurus rumah, adik, ayah, juga kuliahnya diwaktu bersamaan. Yang pernah membalikan meja saat sedang marah. Gemar berolahraga juga naik gunung. Namun tak pernah sekali pun ku dengar, ia sakit. Terima kasih telah membuat saya yakin dengan jurusan kuliah yang saya ambil, semoga kita bisa bekerja di rumah sakit yang sama.
Hany, saya sebal jika kau sedang patah hati. Begitu tak punya kuasa atas diri. Tapi tak apa, nyatanya kau bisa melewatinya dengan baik-baik saja. Pernah makan nasi padang sebungkus berdua di gudang, karena tak mau berbagi dengan jaka. Kerap jatuh hati pada orang yang sama, lalu salah satu diantara kita akan mundur setelahnya. Maaf, saya belum bisa menemani mu berhijrah. Malah saya berjalan semakin mundur.
Deny, di ponselnya begitu banyak aplikasi. Berteman di dunia maya, padahal hanya beberapa yang menyayanginya dengan nyata. Apa pun yang keluar di mulutnya adalah belati. Terlalu banyak tertawa, sampai lupa kalau dirinya rapuh juga. Tapi tak pernah malu untuk terus belajar.
Windy, yang paling berbesar sabar dengan segala tingkah kami. Yang mengingatkan untuk selalu beristigfar sesaat setelah membicarakan orang lain. Kemudian, kami akan melanjutkannya lagi. Yang hampir tidak pernah bersedih, namun peluknya terasa begitu pelik.
Terima kasih, sudah bertahan sejauh ini. Saya terlalu meyebalkan memang. Keras kepala, kerap merasa diri paling benar, tak sabaran, dan terlalu peka pada apa yang seharusnya tak ada di kepala. Terima kasih, untuk segala dekap, tawa,  dan air mata yang pernah hadir. Lini terdepan yang saya cari ketika masalah tak henti-hentinya menghampiri. Kita pernah begitu kekanakan, sampai pada suatu masa kita mengerti, bahwa cinta bukan tentang selalu ada disisi. Melainkan rasa, yang tak pernah berhenti, meski jarak begitu jauh untuk ditapaki. Prioritas kita memang sudah berbeda, tapi saya tahu, kita masih saling cinta. Bersama kalian, saya tak pernah merasa lelah. Karena saya menjadi sejujur-jujurnya diri. Tanpa ada topeng, tanpa takut kalian akan meninggalkan saya. Selalu sehat dan berbahagia, ya. Semoga pendidikan dan pekerjaan kalian cepat rampung. Agar bisa pulang lagi ke Parung.
Penuh cinta, Bella. Yang rindu di dekap oleh alien semacam kalian.

Rabu, 31 Oktober 2018

Teruntuk Kamu Yang Melukis Binar

Aku tak pernah percaya pada kebetulan. Pada apa-apa yang memang seharusnya terjadi. Tanpa didramatisir, apa lagi diromantisasi.
Patah hati mu juga hancurnya hidup ku beberapa waktu lalu memang sudah diagendakan Tuhan, agar hari ini, aku banyak-banyak bersyukur. Menetap pada orang yang tepat.
Sejauh apa pun aku berlari, lapisan bening di mata ku saat mendengar nama mu, tak akan pernah bisa ku sembunyikan binarnya. Bahkan senyap di dada mu bisa ku dengar berapun satuan jaraknya.
Laki-laki yang tak bisa dipimpin, namun kerap mengalah karena sikap ku yang tak mau kalah. Yang bercerita sama sabarnya ketika mendengar. Yang tak pernah kasar saat marah. Yang mengizinkan ku menjadi diri sendiri. Yang memberi amanat agar aku selalu melakukan apa pun yang ku mau dengan penuh tanggung jawab. Cukup. Lantas, apa lagi yang ku cari?
Kepada tuan, yang selalu menggenggam dengan benar-benar apa pun yang kau anggap benar, terima kasih sudah mau menurunkan ego dan gengsinya. Untuk setiap perhatian, kejujuran, kejutan dan kasih sayangnya.
Sebab kau adalah hal baik yang dipersiapkan Tuhan. Alasan bibir ini melengkungkan senyum, bahkan mendung tak sempat mampir ke hidup ku. Percaya lah, kau sering kali ku ucap dalam syukur.

Minggu, 07 Oktober 2018

Yang Disiapkan Waktu

Aku masih ingat, hari itu melelahkan sekali. Belajar dari pagi hingga terbenam matahari. Belum lagi, tugas yang datang bertubi-tubi.
Aku ingin segera pulang ke kostan, menghempaskan badan ke kasur, sambil membaca lini kala di twitter, dengan lidah yang menjilati es krim rasa mangga.
Aku memperlambat langkah, saat ternyata ada kamu di parkiran kampus, dengan pacar mu, yang dulu tampak kau jaga dengan baik.
Pacar mu tampak cemberut, entah karena apa. Aku tidak terlalu peduli. Yang aku lihat adalah kamu yang berusaha membujuk ia agar tak marah lagi.
"Yaudah sini, lepas dulu tasnya, adek". Kata mu sambil menarik tas yang menggantung di bahunya.
"Apaan sih. Aku tuh capek tau gak." Umpat pacar mu, masih dengan bibir yang manyun.
"Ya makanya sini tasnya aku bawain, yuk makan aja yuk". Kamu masih saja membujuk dia, dengan tatapan penuh sayang.
Setelah itu aku tak mendengar apa-apa lagi, aku bergegas pulang. Entah kenapa, hari ku terasa semakin buruk.
Saat itu aku sedang cinta-cintanya pada rich brian, pada lagunya, pada cara ia bernyanyi, dan juga tingkahnya di panggung. Ya, saya mulai menghafal lirik lagunya, dengan tempo yang cepat, dan kemampuan berbahasa inggris saya yang tidak ada apa apanya. Tentu saja saya sering terbata-bata, karena kesulitan mengucapkan beberapa kata. Lalu, kamu melanjutkan lirik yang saya jeda, hingga lagunya selesai. Sepele, tapi saya senang.
Kamu pernah bercerita, saat cinta mu kandas begitu saja. Yang kau kira yang paling istimewa, tapi ternyata sama. Padahal kau terlihat begitu sayang, segala hal kau upayakan, tapi tak sebanding dengan apa yang dia lakukan.
Saya tau, dia berulang taun bulan mei, dan kamu memberikan boneka serta bunga. Ia tanpak senang sekali -aku melihat ini dari semua unggahan di sosial media mu- .
Kenapa? Kaget ya? Sebenarnya aku tak mau peduli, tapi instastory mu selalu berada di paling kiri. Menyebalkan.
Kau bercerita panjang sekali, tentang konsep sebuah hubungan, kepercayaan, kesetian dan sebagainya. Padahal aku tau, cinta tak lagi bermakna untuk mu. Perbincangan itu lewat begitu saja. Tak pernah ku cari tau kamu dimana, sedang suka apa, atau apa pun ; karena aku tau batasan antara dua orang yang mempunyai pasangan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Kok kita kalo ngobrol nyambung gini sih? Bahkan ketika aku diam, kamu paham apa yang aku maksud." Ucap mu sambil membawa susu kotak strobery dan es krim vanilla di kantong keresek berwarna putih.
"Iya, masa dulu pas aku nyanyi lagu rich brian yang judulnya dat stick, kamu pernah lanjutin liriknya sampe selesai." Jawab ku sambil terus mengingat kejadian setahun belakangan.
"Aku juga diem-diem nyanyi, kalo kamu muter lagu sementaranya float. Tapi kayaknya kamu gak denger deh."
Aku malas menanggapi, malah mengambil susu di tangan kanan mu.
"Kenapa harus susu strobery?" Tanya ku.
"Aku pernah liat kotak bekas susu strobery di tempat sampah mu, aku gak peduli itu punya siapa. Kayaknya sih punya kamu."
Iya, itu susu milik ku. Yang sudah habis, lalu ku buang ke tempat sampah. Tapi, bagaimana mungkin, kamu ingat?
"Kamu lucu kalo lagi bingung gitu." Kamu membuyarkan lamunan ku.
Malam itu kita menjadi orang tercerewet segalaksi, ku rasa. Bagaimana kamu ingat penyanyi kesukaan ku, buku yang ku baca juga film GoT yang ingin ku tonton tapi selalu tak sempat. Mengingat, betapa manisnya letupan di dada masa itu, tapi kita terlalu abai untuk sadar.
"Jadi, kamu punya gak sih sepupu atau teman yang sifatnya kayak kamu? Yang pola pikirnya kayak gini?" Ucap mu.
Aku bingung. "Gak ada, cuma satu di dunia."
"Yaudah, aku nunggu kamu bereinkarnasi aja."
Kamu terlalu gengsi mengakui, bahwa cinta telah mengisi dada mu. Sama naifnya dengan ku, yang mati-matian menolak rasa sejak dulu.
"Yaudah aku nyerah, aku mau tumpah ke dalam mu. Kalau suatu saat nanti, kamu hilang seperti yang sudah-sudah, ya silakan. Itu bukan hak ku, tapi aku tau kamu perempuan cerdas, yang menggunakan otaknya dengan baik saat melakukan sesuatu. Terserah kamu, asal tau batas ya." - Lelaki yang di matanya ada cinta dan galaksi, yang ingin ku cintai berkali-kali tanpa tapi.

Senin, 17 September 2018

Bianglala

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Suara musik khas pasar malam, lampu warna-warni, loket pembelian karcis, tukang parkir yang melambai-lambai, gulali merah muda yang dibungkus pelastik bening, tawa anak-anak, juga wahana yang dicat sedemikian rupa agar tak terlihat membosankan.
Tapi kali ini, ada yang berbeda. Aku melihat pengunjung yang wajahnya murung,padahal ia terlihat telah mengelilingi tempat ini. Mungkin karena beban pekerjaan, habis putus cinta, atau kehabisan uang padahal gaji baru saja turun. Ah, mengapa aku sepeduli ini? Toh,semua yang datang kesini hanya untuk bersenang-senang, lalu pulang.
Tiba-tiba ia berada di tengah antrean karcis ku, bianglala berwarna biru dan merah jambu, dengan sedikit karat di bagian tempat duduk, namun tetap aman untuk ia singgahi.
Ia duduk, sendirian disini. Aku, mulai memutarkan tubuh ku, karena semua tempat telah penuh. Di puncak ketinggian ku, ada yang berteriak, tertawa keras sekali, atau berpelukan seperti sepasang muda mudi di tempat duduk nomer tiga. Tapi, laki-laki itu justru menggenggam besi-besi di tubuh ku dengan erat, memejamkan matanya, tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Begitu terus hingga permainan usai.
Semenjak saat itu, aku selalu menunggu ia datang lagi. Laki-laki berkacamata kotak, dengan jaket yang selalu membungkus tubuhnya.
Pernah, suatu masa, ia membawa gulali, tertawa lebar sekali. Tapi tak jarang, ia datang dengan kesal, aku tak tahu kenapa. Ah, aku ingin sekali membuatnya selalu bahagia. Tanpa harus ada raut lelah di wajahnya, atau bahkan murung seperti saat pertama bertemu.
Ia datang hampir setiap hari, kadang terlalu larut. Jari-jarinya memegang erat besi ku, tapi begitu dingin. Aku ingin ia berbicara lebih banyak dari biasanya, tapi seperti yang selalu ia lakukan ; diam. Tidak, aku tidak pernah bosan dengan sikapnya. Hanya saja, ada pengunjung yang membuat ku begitu dianggap sangat menyenangkan. Ia datang dengan riang, tak pernah sekali pun menganggap ku sebagai tumpukan besi tua yang dicat sedemikian rupa. Lalu laki-laki berkaca mata itu, menghilang beberapa minggu. Aku sepi, tubuh ku dingin sekali. Tapi tetap bisa menikmati riuhnya pasar malam.
Bulan sedang cantik-cantiknya. Dan ternyata ia datang lagi, dengan kaus berwarna biru dan celana pendek. Aku rindu, pada tatap matanya yang tajam, senyum yang menggantung di wajahnya, juga aroma tubuhnya yang ingin ku hirup lebih lama dari biasanya. Banyak sekali yang ia bicarakan, aku senang mendengarnya, dan aku ingin mencintainya lebih dari sangat. Aku berhenti berputar, karena malam terlalu larut. Para pedagang mulai merapikan lapaknya, suara musik sudah tak terdengar, dan hanya ada beberapa tawa yang menggema di pojok parkiran. Ia turun, tapi tangannya tak henti memegangi besi ku, ini permainan terakhir katanya. Ia senang berada di wahana ini, tapi juga lelah, karena aku terlalu hangat pada pengunjung. Aku tak sempat menjelaskan apa-apa. Hanya lambai tangannya, yang bisa ku lihat dari sini. Untuk berteriak pun, aku tak sanggup. Punggungnya perlahan hilang, bersama hilangnya bayang.
Malam setelah itu, ia tak pernah datang lagi. Dan tak pernah ada lagi, pengunjung yang setenang dan sedingin ia saat berada disini. Kebanyakan, berteriak, tak jarang mengumpat. Ya, aku pikir aku telah berada di tempat lain, karena aku terus bergerak, nyatanya aku tetap disini, tak pernah berpindah kemana-mana.
---------------------------------
"Tuan, tak apa jika ingin datang terlalu larut, meski tanpa cahaya warna-warni, walau tak ada lagi gulali.
Maafkan aku yang terlalu hangat pada selain kamu. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama dari selamanya, bersama mu. Terserah jika sebenarnya kau hanya butuh ramai, dan kebetulan ada aku disini. Ah sudah lah, kita hanya takut kesepian.
Untuk selamat tinggal malam itu, ya, mungkin kamu ingin pulang dengan selamat, sedangkan saya akan tetap tinggal." - Bianglala, yang juga butuh ramai, dan kebetulan ingin kamu yang melakukannya.

Senin, 27 Agustus 2018

Magic words

"Hari ini tes SBM ya? Semangat ya. Kalem aja,gak usah buru buru. Kerjain yang gampang dulu, jangan lupa sarapan." - Bapak, nelpon jam 4 pagi.
Simple kan? Tapi bikin hari gue cerah, seharian. Yang awalnya degdegan setengah idup dengan tangan yang keringet dingin, jadi agak tenang.
5 taun kebelakang, gue cuek banget sama hal kayak gini. "Buat apa sih? Deket juga nggak sama orang ini? Kenapa gue mesti sebegitunya?".
Lalu satu persatu teman gue mulai berkurang, terseleksi dengan sendirinya. Dulu temen gue banyak banget, sampe bingung, gue mau pake topeng yang mana buat nyengin hati atau sekedar bikin nyaman mereka. Kemudian, gue jadi lelah sendiri. Selalu ngerasa gak enakan, padahal ya, idup sendiri aja berantakan. Gue seneng, sekarang udah bisa ngelepasin toxic friend. Atau mereka yang minggat duluan. Gak guna juga lagian, malah jadi beban.
Beberapa temen bilang kalo gue susah diajak main, nggak kok. Gue mau-mau aja main sama lo, kemana pun itu. Tapi pertanyaan terpentingnya adalah, seberapa deket kita, sampe gue mau luangin waktu buat lo? Lo mau gak matiin hp lo, saat ngobrol sama gue?
Temen emang banyak, kalo sahabat bisa diitung pake jari. Kojul salah satunya. Tempat dimana gue bisa ketawa paling kenceng sama jokes yang gue ceritain sendiri. Makasih, guys. Jarang ada yang tahan sama gue sampe sebeginya.
Makin kesini, gue nganggep doa "semoga bahagia dan sehat selalu" adalah doa yang bukan hanya basa basi, tapi juga doa maha dahsyat nan tulus dari orang-orang yang gue sayang. Yang kemudian akan gue aamiinkan dengan lantang.
Juga ucapan "terimakasih" dan "maaf" yang kadang lupa atau males diucapin. Oke lah, lo gak gampang minta maaf sama orang, tapi bilang makasih? Masa susah sih?
Kadang kita terlalu muluk-muluk pengen menggenggam seisi semesta, padahal ada orangtua, sahabat, saudara, atau pasangan yang kita lupa untuk rekatkan hubungannya? Hambar, padahal pernah deket banget. Coba diperbaiki, barang kali, kita terlalu gak peduli.
Kalo mau minta apa-apa, dibiasain pake kalimat yang jelas, utuh dan sopan. Biar orang juga mau nolongin lo, berlaku juga buat ke Tuhan. Dan jangan lupa buat bilang makasih setelahnya, jangan kecewa juga kalo kemauannya gak bisa diturutin.
Jangan suka sok paling bisa apa-apa sendirian. Toh dihadapan semesta, lo juga bukan apa-apa. Tapi ketika ada orang baik yang mau bantu lo supaya bisa lakuin sesuatu, jangan dimanfaatin. Nanti balik lagi ke diri sendiri, loh~
Iya, ini semua self reminder buat gue. Lagi ngebiasain ngejaga jari dan mulut buat gak nyinyir sama apa yang orang lakuin, semuanya pasti ada alesan kenapa mereka begini, kenapa mereka begitu. Dan gue gak peduli juga, tiap orang punya struggle-nya masing-masing.
Lo gak tau kan, apa yang lo ketik, yang lo ucap bakalan senancep apa di hati orang lain. Betapa "semangat ya, kamu" bisa bikin orang senyum-senyum seharian. Atau "goblok banget sih, masa gini aja gak bisa handle?" Bisa bikin mood orang seketika berantakan.
Ucapan juga harus sejalan sama perbuatan. Katanya sayang, tapi gak pernah inget kalo tanggal sekian mau ketemuan. Katanya bilang maaf, tapi kesalahannya selalu diulang-ulang. Selalu minta tolong, tapi nada bicaranya marah-marah. Maneh cageur?
Mendoakan yang baik untuk orang-orang yang kita sayang, gak dibiasain mengumpat sama Tuhan kalo kena musibah, memuji atas pencapaian yang orang lain raih, adalah hal gampang yang harus dibiasain.
Dulu, waktu aliyah, guru gue, namaya Ibu X lagi makan es krim di bawah pohon, sendirian. Es krimnya cuman satu. Kemudian gue samperin, beliau nawarin, tentu gue tolak dong. Dari kejauhan, Ibu guru Z ngeliatin aja dari pintu, lalu masuk lagi ke dalem kantor.
Ibu X : "Aduh, dia kok liat sih gue lagi ngeskrim, ngambek deh pasti dia. Tadi lupa banget mau beli 2".
Gue : "Loh, Bu, itu kan cuma es krim. Bella beliin ke alfa aja apa nih, banyak. Murah lagi kalo modelan stik kayak gitu"
Ibu X : "Bukan masalah harganya, Bel. Tapi perkara dia, Ibu anggep ada apa nggak. Cara nyakitin orang tuh gampang kok ; bikin dia terlihat tidak istimewa aja, lukanya cukup dalem".
Setelah itu gue diem. Dan di hari-hari berikutnya, gue berusaha mengingat hari ulang taun orang-orang yang gue sayang, nyempetin nelpon orangtua dalam sehari, masakin makanan yang gue bisa, dengerin sahabat curhat jam 2 pagi, nyisain makanan buat abang yang kerja sampe malem, atau minimal meluk mereka pas lagi sedih-sedihnya. Gue tau itu gak terlalu bantu, tapi setidaknya mereka merasa gak sendirian.
Karena, sekali lagi. Kita gak pernah tau pengaruh apa yang akan timbul atas apa yang kita ucap, kita lakuin, dan kita ketik di sosial media.

Senin, 18 Juni 2018

Dini Hari Dan Tidur Yang "Nanti Lagi"

Aku benci terbangun di pukul 3 dini hari. Gelapnya, heningnya, sepinya, juga segala yang riuh di dalam kepala. Sulit membuat tidur setelahnya.
Dini hari, waktunya tubuh istirahat dan merebah. Tapi hati, meminta ku untuk mengingat mu sekali lagi. Sebelum matahari mengasingkan diri ku jauh sekali.
Pernah, pada suatu masa, aku berada di waktu tersibuk mu, pukul 3 sore hari. Diantara pekerjaan yang tak kunjung usai, diantara macet jalan raya, berada dalam dilema makan sekarang atau nanti malam. Dan kau selalu sempat  menyapa ku lewat gawai, supaya hati-hati di jalan, memastikan tak ada ibadah yang ku tinggal.
Padahal, waktu terbaik mengingat seseorang adalah pukul 3 dini hari. Saat mata terlalu berat, kaki terlalu pegal berjalan, dan tubuh enggan berpindah dari kasur, tetapi isi kepala terlalu sesak menyimpan namanya.
Diantara cahaya bulan, ia hadir, tapi tak mampu menggenapkan kekosongan. Menyusup dalam bait bait doa, namun tak kuasa terbang ke langit untuk diaamiinkan. Menjelma menjadi lagu sendu yang tak sengaja diputar. Menikmati kehampaan, dengan sesekali terdengar suara sesegukan.
Diam diam ternyata aku rindu, pada sapa mu kala hari yang terlalu berat. Pada dekap yang selalu bisa membuat ku terlelap. Pada hal-hal sederhana yang tak lagi kau lakukan.
Percakapan dini hari ini terlalu melelahkan. Ingin pulang, dan mengetuk hatinya untuk menemukan mu jauh di dalamnya, bertemu sekali lagi, mendekap mu erat-erat, sampai kemudian aku tersadar, di mata mu, tak ada lagi aku.


Senin, 12 Februari 2018

Lebih dari kamu

Sudah lama saya tidak menulis tentang kamu. Selain karena menyusutnya ingatan saya kepada kamu, juga karena saya sudah bertemu yang saya kira, lebih baik dari pada kamu.
Saya selalu berdoa agar kamu baik baik saja dan berbahagia, seperti saya dengan pasangan baru saya.
Ini sedikit terlambat, menemukan pengganti mu setelah 4 tahun saya kesulitan bangun dari jatuh, saat sedang cinta-cintanya pada kamu. Tak apa, saya tetap bersyukur menemukan ia, yang tentu saja lebih membahagiakan dari kamu.
Kamu jangan dulu besar kepala, kamu bukan lagi yang paling istimewa. Hal-hal kecil yang membuat saya, dulu, begitu jatuh cinta pada kamu, di lakukan juga oleh ia. Menikmati dinginnya es krim dalam dekapnya, mengelilingi sudut kota hanya untuk makan malam di pinggir jalan, pelukan saat isi kepala terlalu kacau, dan juga candaan aneh yang selalu berhasil membuat perut saya kram.
Dia tidak romantis, sama seperti mu. Bahkan ia tidak bisa bermain alat musik, untuk sekedar menghibur ketika tiba tiba saya merasa amat berantakan. Tapi entah kenapa, candanya selalu mampu menerbangkan kupu-kupu di perut saya.
Saya butuh waktu 1 tahun untuk memberikan separuh hidup saya kepada kamu, tapi kepadanya, saya hanya butuh satu kali dekap untuk menyerahkan segala urusan saya. Iya, ini kesalahan yang saya sesali pada akhirnya.
Saya masih ingat betapa hampanya hidup tanpa kamu, betapa hancurnya saya saat itu. Saya bersumpah, itu adalah patah hati terhebat yang tidak ingin saya ulangi lagi rasanya. Tapi kadang, ekspetasi tidak selalu berjalan beriringan dengan kenyataan.
Hati saya hancur berantakan lagi. Saya kira, saya satu-satunya, tapi ternyata saya hanya salah satunya. Rasa yang saya dapatkan hari ini, sama sakitnya dengan saat itu.
Kalau ada penghargaan untuk kategori pematah hati terbaik, bukan lagi kamu yang akan menang. Dia melakukannya dengan lebih hebat.
Saya menyimpannya di kepala setiap hari, mengingat setiap detail dalam dirinya, mengupayakan agar ia selalu bahagia dan nyaman bersama saya, juga memberikan kepercayaan penuh padanya. Namun, kini saya sadar, saya hanya jatuh cinta sendirian.
Saya kira, perhatian dan kebahagian yang ia suguhkan itu hanya untuk saya, nyatanya tidak. Ia sudah lebih dulu menggenggam hati yang lain, jauh sebelum saya bertemu dia. Mungkin salah saya terlalu melibatkan perasaan pada sesuatu yang masih terlihat bias. Salah saya, terlalu mudah menggantungkan bahagia dan harapan pada ia.
Ini hanya sebagian upaya, agar bukan melulu kamu yang saya rindu. Tapi saya tidak menyangka, akan sepatah hati ini oleh ia, yang saya kira yang terbaik setelah kamu.
Jika sebelumnya, merindukan mu terasa berat, kali ini, yang berat adalah melepaskan ia yang telah membuat saya diinginkan lalu kemudian menghempas saya seolah saya bukan apa-apa di hadapan semesta.