Senin, 12 Februari 2018

Lebih dari kamu

Sudah lama saya tidak menulis tentang kamu. Selain karena menyusutnya ingatan saya kepada kamu, juga karena saya sudah bertemu yang saya kira, lebih baik dari pada kamu.
Saya selalu berdoa agar kamu baik baik saja dan berbahagia, seperti saya dengan pasangan baru saya.
Ini sedikit terlambat, menemukan pengganti mu setelah 4 tahun saya kesulitan bangun dari jatuh, saat sedang cinta-cintanya pada kamu. Tak apa, saya tetap bersyukur menemukan ia, yang tentu saja lebih membahagiakan dari kamu.
Kamu jangan dulu besar kepala, kamu bukan lagi yang paling istimewa. Hal-hal kecil yang membuat saya, dulu, begitu jatuh cinta pada kamu, di lakukan juga oleh ia. Menikmati dinginnya es krim dalam dekapnya, mengelilingi sudut kota hanya untuk makan malam di pinggir jalan, pelukan saat isi kepala terlalu kacau, dan juga candaan aneh yang selalu berhasil membuat perut saya kram.
Dia tidak romantis, sama seperti mu. Bahkan ia tidak bisa bermain alat musik, untuk sekedar menghibur ketika tiba tiba saya merasa amat berantakan. Tapi entah kenapa, candanya selalu mampu menerbangkan kupu-kupu di perut saya.
Saya butuh waktu 1 tahun untuk memberikan separuh hidup saya kepada kamu, tapi kepadanya, saya hanya butuh satu kali dekap untuk menyerahkan segala urusan saya. Iya, ini kesalahan yang saya sesali pada akhirnya.
Saya masih ingat betapa hampanya hidup tanpa kamu, betapa hancurnya saya saat itu. Saya bersumpah, itu adalah patah hati terhebat yang tidak ingin saya ulangi lagi rasanya. Tapi kadang, ekspetasi tidak selalu berjalan beriringan dengan kenyataan.
Hati saya hancur berantakan lagi. Saya kira, saya satu-satunya, tapi ternyata saya hanya salah satunya. Rasa yang saya dapatkan hari ini, sama sakitnya dengan saat itu.
Kalau ada penghargaan untuk kategori pematah hati terbaik, bukan lagi kamu yang akan menang. Dia melakukannya dengan lebih hebat.
Saya menyimpannya di kepala setiap hari, mengingat setiap detail dalam dirinya, mengupayakan agar ia selalu bahagia dan nyaman bersama saya, juga memberikan kepercayaan penuh padanya. Namun, kini saya sadar, saya hanya jatuh cinta sendirian.
Saya kira, perhatian dan kebahagian yang ia suguhkan itu hanya untuk saya, nyatanya tidak. Ia sudah lebih dulu menggenggam hati yang lain, jauh sebelum saya bertemu dia. Mungkin salah saya terlalu melibatkan perasaan pada sesuatu yang masih terlihat bias. Salah saya, terlalu mudah menggantungkan bahagia dan harapan pada ia.
Ini hanya sebagian upaya, agar bukan melulu kamu yang saya rindu. Tapi saya tidak menyangka, akan sepatah hati ini oleh ia, yang saya kira yang terbaik setelah kamu.
Jika sebelumnya, merindukan mu terasa berat, kali ini, yang berat adalah melepaskan ia yang telah membuat saya diinginkan lalu kemudian menghempas saya seolah saya bukan apa-apa di hadapan semesta.