Sabtu, 15 Desember 2018

Selalu Ada Alasan

"How was your day? Aku baru pulang latihan nih. Kamu udah mandi?"
Pesan yang tak pernah bosan ia kirimkan setiap malam. Yang akan saya balas dengan panjang lebar, sambil senyum-senyum dengan debar.
Semenyenangkan ini jatuh cinta. Saat ia ingat rasa es krim kesukaan saya, seberapa cintanya saya pada Sheila On 7 dan Cold Play, tau bahwa saya tak suka orang yang cerewet, juga tau pada penulis yang saya baca karya-karyanya.
Lalu kita saling menyebut sebagai bagian dari hidup. Seolah jarak bukan lagi satuan yang mesti di khawatirkan.
Tapi perlahan, duka mulai muncul ke permukaan. Ia yang terlalu sibuk, saya yang terlalu manja. Dan menyalahkan jarak sebagai dalangnya.
Meninggalkan menjadi jalan yang saya ambil. Meski pernah saya utarakan, betapa saya jatuh cinta pada cara ia berpikir, matanya yang coklat, pada aroma tubuhnya, kejutan-kejutan kecil yang ia kirim dari belahan bumi yang lain, juga segudang prestasi yang telah ia raih, tak cukup menjadi alasan untuk saya tetap tinggal.
Seolah saya lupa, sulitnya menuju ia. Karena meninggalkan, selalu ada alasan. Dan ironisnya, alasan itu telah hadir sejak pertama kita berikrar untuk saling mengasihi.
Padahal tak ada aturan baku untuk mencintai seseorang. Tapi mengapa, meninggalkan begitu mudah dilakukan?
Setiap karena mulai bermunculan, kadang benar, tak jarang dikarang-karang. Meninggalkan, selalu ada alasan. Saya tidak pernah menyesal telah pergi darinya. Saya hanya malu, jika menengok pada masa yang itu. Betapa saya, ternyata begitu pengecut untuk jujur bahwa saya bosan. Dan malah tak berusaha memperbaiki keadaan.
Terima kasih, untuk tidak menghabiskan waktu mu untuk tetap tinggal bersama saya, yang gagah meninggalkan saat kau dengan gigih mencintai saya tanpa alasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar